Jangan Lengah Meski Angka Kemiskinan di Banyuasin Turun

Pangkalan Balai – Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyuasin mencatat Garis Kemiskinan (GK) Tahun 2025 berada di angka Rp 560.840 per kapita perbulan. Nilai tersebut merupakan batas maksimum pengeluaran seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan non makanan selama Satu bulan. Jika satu rumah tangga terdiri dari Lima anggota keluarga, maka pengeluaran di bawah Rp 2.8 Juta perbulan dapat dikategorikan sebagai miskin.

Berdasarkan kategori itu, BPS menyebut angka kemiskinan di Banyuasin mengalami penurunan bahkan tercatat sebagai daerah dengan garis kemiskinan terendah kedua di Sumatera Selatan setelah Kota Pagar Alam. Realitanya. Pasca pandemi COVID 19 dan meningkatnya angka PHK, sebagian masyarakat masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Harga bahan pokok yang terus naik membuat daya beli masyarakat semakin tertekan.

Menanggapi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Banyuasin melalui Stastisi Ahli Madya Dian Febrini menegaskan bahwa metode perhitungan yang digunakan masih berpedoman pada Basic Need Approach (Pendekatan kebutuhan dasar) yaitu menghitung kebutuhan minimum seseorang berdasarkan konsumsi makanan dan kebutuhannya lainnya.

“Garis Kemiskinan itu dibentuk dari Dua komponen utama, yakni kebutuhan makanan dan non makanan. Kalau di banyuasin, untuk tahun 2025 nilainya di Rp 560.840. Artinya, kalau dalam satu rumah ada Lima orang dan pengeluarannya dibawah Rp 2.8 Juta baru dikategorikan miskin,” Jelas Dian, Selasa (21/10/25).

Ia menambahkan faktor turunnya angka kemiskinan tidak berdiri sendiri. Semua aspek, mulai dari daya beli hingga pengeluaran rumah tangga, saling berpengaruh. “Yang kita lihat mungkin secara kasat mata harga-harga naik. Tapi secara keseluruhan, daya beli masyarakat juga ikut menyesuaikan,” ujarnya.

Kendati demikian, dirinya tidak menampik bahwa masih ada kemiskinan multidimensi, bentuk kemiskinan yang dilihat bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga kualitas pendidikan, kesehatan dan kondisi tempat tinggal.

“Secara fisik di Banyuasin ini nanti ada kemiskinan multidimensi, itu yang nanti melihat dari kasat mata, yang dilihat dari rumah dan pendidikannya. Tapi untuk saat ini  perhitungan yang masih kita pakai menggunakan metode basic need approach berdasarkan yang dikonsumsi oleh masyarakat,” ungkapnya.

Aktivis Banyuasin, Abdullah Hudedy menilai penurunan angka kemiskinan versi statistik perlu dibaca secara lebih hati-hati. Sebab, data sering kali sepenuhnya mencerminkan dinamika kesejahteraan masyarakat di lapangan.

Turunnya angka kemiskinan memang bisa menjadi kabar baik, namun belum tentu menandakan meningkatnya taraf hidup. Sebab, garis kemiskinan itu bersifat relatif , berbeda di tiap daerah dan sangat bergantung pada perubahan harga barang serta pola konsumsi masyarakat. “Data bisa menunjukkan kemajuan, tapi kesejahteraan sejati bukan hanya soal angka. Masih banyak keluarga yang hidup pas-pasan dengan pekerjaan tidak tetap dan biaya hidup yang terus naik,” terangnya.

Pada akhirnya, data BPS tetap penting sebagai dasar kebijakan. Namun, realitas sosial dilapangan menjadi pengingat bahwa penurunan angka kemiskinan tidak boleh membuat pemerintah lengah. Karena di balik data statistik yang menurun, masih ada wajah-wajah masyarakat yang berjuang setiap hari untuk sekedar bertahan hidup.