JAKARTA | Hari ini, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta (IDAI JAYA) didukung oleh PT Takeda Innovative Medicines menyelenggarakan Indonesia Dengue Summit yang pertama, sebuah acara peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan, serta edukasi mendalam bagi masyarakat seputar penyakit Demam Berdarah Dengue/DBD.
Acara ini salah satunya mengambil momentum ASEAN Dengue Day yang diperingati pada tanggal 15 Juni setiap tahunnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), DBD adalah salah satu ancaman utama
kesehatan masyarakat di dunia. Insiden DBD meningkat secara signifikan di seluruh dunia dalam beberapa dekade
terakhir, dengan kasus yang dilaporkan kepada WHO naik dari 505.430 kasus pada tahun 2000 menjadi 5,2 juta pada
tahun 2019.
Jumlah kasus demam berdarah tertinggi tercatat pada tahun 2023, yang memengaruhi lebih dari 80 negara di seluruh wilayah WHO.1 Di Indonesia,
Kementerian Kesehatan mencatat hingga minggu ke-23 tahun 2024 saja, terdapat 131.501 kasus DBD dengan kematian sebanyak 799 kasus. Angka kasus kejadian tersebut lebih tinggi dari kumulatif kasus DBD di tahun 2023 yaitu 114.720 kasus, dan mendekati total kasus kematian sepanjang tahun 2023 yaitu 894 kasus.
dr. Imran Pambudi, MPHM, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Direktorat Jenderal P2P,
Kementerian Kesehatan RI, mengatakan, sampai saat ini, pencegahan dan pengendalian DBD di Indonesia berfokus
lebih berat pada pengendalian vektor yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
“Sejak tahun 1980-an, kita telah menjalankan Gerakan 3M Plus secara berkelanjutan, dilanjutkan dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J), dan baru-baru ini, kami memperkenalkan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sebagai bagian tambahan dari program yang ada. Meskipun semua upaya ini telah dilakukan, kasus demam berdarah di Indonesia masih menunjukkan peningkatan yang signifikan. Kami yakin bahwa pendekatan inovatif lainnya diperlukan untuk mengatasi tantangan ini,” ujarnya.
“Karena itulah, Kementerian Kesehatan terus menguatkan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, dan berkomitmen menerapkan pendekatan-pendekatan inovatif, termasuk melalui vaksinasi. Hal ini sejalan dengan pilar kelima dan keenam dari Strategi Nasional Penanggulangan Dengue yang telah kami canangkan di tahun 2021,” sambungnya.
dr. Imran menambahkan bahwa selain keterlibatan masyarakat, setiap tingkatan pemerintahan harus bersatu untuk mengimplementasikan strategi ini, di mana pemerintah daerah memegang peran yang sangat penting dalam upaya
pencegahan DBD di Indonesia.
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Rismala Dewi, Sp.A(K), Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta,
menuturkan, “Kami menyadari pentingnya pencegahan DBD yang terintegrasi dan komprehensif. Oleh karena itu, organisasi profesi, termasuk salah satunya adalah IDAI, merekomendasikan imunisasi DBD kepada anak-anak usia 6-18 tahun.
“Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan perlindungan optimal kepada anak-anak, yang
merupakan kelompok paling rentan terhadap infeksi dengue, tetapi juga untuk secara signifikan mengurangi risiko kematian akibat penyakit ini.
Untuk itu, mari bersama-sama kita lindungi generasi muda kita dari ancaman DBD dengan vaksinasi,” ucapnya.
Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), memaparkan bahwa dengue atau yang sering disebut sebagai DBD merupakan penyakit yang dapat menjangkit siapa saja tanpa memandang usia, di mana mereka tinggal, maupun gaya hidup.
“Di negara atau wilayah dengan tingkat
penularan DBD yang tinggi, anak-anak dan orang dewasa muda cenderung menjadi yang paling terkena dampaknya, dengan angka kematian lebih tinggi pada anak-anak. Sayangnya, di masyarakat kita masih banyak terjadi miskonsepsi tentang DBD dan menganggap penyakit ini tidak berbahaya. Masih banyak orang yang berpikir bahwa apabila sudah
pernah terkena DBD, maka mereka aman dan menjadi kebal. Padahal, tidak begitu. Masyarakat perlu memahami
bahwa virus dengue terdiri dari empat serotipe. Di mana apabila seseorang telah terjangkit satu serotipe, mereka
masih bisa terjangkit serotipe yang lain, dan infeksi yang kedua dan seterusnya berpotensi lebih parah. Bahkan bisa
menyebabkan kematian,” jelasnya.
Lebih lanjut Prof. Sri menjelaskan, untuk itu, tindakan pencegahan yang terintegrasi sangat diperlukan untuk
melawan DBD, seperti melalui pengendalian vektor. Selain itu, kita juga perlu untuk mencegah infeksi dan melakukan upaya untuk mengurangi keparahan penyakit apabila sampai terjangkit. Salah satu inovasi yang saat ini direkomendasikan oleh beberapa organisasi profesi di Indonesia, baik oleh IDAI, PAPDI, maupun PERDOKI adalah
melalui program vaksinasi. Dalam tatalaksana DBD yang diterbitkan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI tahun 2023 juga disebutkan bahwa pasien setelah terinfeksi dan rawat inap akibat dengue dapat diberikan vaksinasi 1-3 bulan kemudian.
“Dengan meningkatkan kekebalan masyarakat, akan sangat membantu menurunkan tingkat keparahan
serta risiko kematian akibat DBD,” ungkapnya.
Prof. Sri menambahkan bahwa baru-baru ini WHO telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengenalkan inovasi vaksinasi dengue bagi negara atau wilayah dengan intensitas penyebaran DBD yang tinggi ke dalam program imunisasi nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, dr. William S. Tjeng, Sp.A(K), Ketua Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
(KIPI) Kalimantan Timur, membagikan informasi seputar program vaksinasi DBD yang saat ini sedang dijalankan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. Menurutnya, sejauh ini program imunisasi berjalan dengan baik.
“Kalimantan Timur merupakan daerah endemik DBD dengan angka kejadian (Incidence Rate/IR) yang selalu berada di
atas target nasional, yaitu 10/100.000 penduduk. Oleh karena itu, Dinkes Provinsi Kalimantan Timur berinisiatif
melaksanakan pilot program imunisasi DBD di kota Balikpapan dengan target 9.800 anak-anak SD usia 6-14 tahun.
Sampai dengan bulan Februari 2024, tercatat hampir 99% peserta telah mendapatkan dosis pertama, dan vaksin dapat ditoleransi dengan baik,” ucapnya.
“Melihat perjalanan program sampai saat ini, serta kasus DBD yang masih terus fluktuatif di Indonesia, ke depannya Dinkes Kalimantan Timur akan meneruskan program imunisasi ke kota Samarinda dengan target 2.750 anak-anak rentang usia yang sama,” tutup dr. William.
Andreas Gutknecht, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, mengungkapkan sangat bersemangat
dengan diadakannya Indonesia Dengue Summit, kerja sama antara PT Takeda Innovative Medicines dengan IDAI JAYA.
Ini merupakan yang pertama di Indonesia, dan kami berharap acara ini dapat menjadi sebuah wadah untuk
peningkatan kapasitas yang berkelanjutan bagi para profesional kesehatan kita di Indonesia dalam penanganan DBD, serta memberikan informasi tepercaya seputar DBD kepada masyarakat.
“Di Takeda, kami berkomitmen untuk memerangi DBD melalui pendekatan yang menyeluruh yang melengkapi upaya pemerintah untuk mencapai tujuan ‘Nol Kematian Akibat Dengue pada tahun 2030’. Sejalan dengan komitmen tersebut, kami berupaya menciptakan akses terhadap vaksin inovatif kami, bagi masyarakat luas melalui kerja sama dengan tenaga kesehatan serta institusi terkait. Tujuan kemitraan publik-swasta kami adalah untuk meningkatkan kekuatan dan sumber daya dari sektor publik dan swasta guna mencegah dan mengendalikan DBD secara efektif. Kami juga membantu membuka jalan
menuju program imunisasi nasional di masa yang akan datang. Selain itu, kami mendukung edukasi pada tenaga
kesehatan sebagai garda terdepan dalam hal pencegahan, deteksi, dan penanganan DBD. Salah satunya adalah
melalui Indonesia Dengue Summit ini,” bebernya.
Menurutnya, Indonesia Dengue Summit (IDS) merupakan sebuah acara peningkatan kapasitas dan edukasi seputar Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui sesi sharing, perencanaan strategis, dan pembentukan kemitraan yang kuat antara para pemangku kepentingan, baik para tenaga kesehatan, sektor swasta, pemerintah, dan publik.
“Acara yang mengusung tema “One Nation, One Fight for One Purpose” ini bertujuan untuk memperkuat, serta menyelaraskan upaya bersama melawan DBD di Indonesia untuk mencapai tujuan ‘Nol Kematian Akibat Dengue pada Tahun 2030,” ucapnya.
IDS yang pertama kali diselenggarakan hari ini, 23 Juni 2024, terdiri dari dua sesi. Sesi pertama, telah diselenggarakan
di pagi hari, dan diikuti oleh lebih dari 3.000 tenaga kesehatan dari seluruh Indonesia —baik secara luring maupun
daring— ditutup dengan sesi edukasi kepada rekan-rekan media yang diselenggarakan saat ini. (ril)