KINI menjadi tersangka, mantan Wali Kota Palembang H Harnojoyo yang selama ini sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi revitalisasi Pasar Cinde Palembang.
Penyidik Pidsus Kejati Sumsel menetapkannya usai pemeriksaan lanjutan.
Ya, pukul 18.30 WIB, dia resmi mengenakan rompi tahanan kejaksaan, Senin (7/7/25).
Dengan kedua tangan diborgol, Harnojoyo keluar dari ruang pemeriksaan. Didampingi dua pegawai kejaksaan, berjalan menuju mobil tahanan yang sudah menunggu di halaman Kantor Kejati Sumsel.
“Hari ini saya ditetapkan sebagai tersangka, ini mungkin salah satu saya sebagai pimpinan, tanggung jawab dengan pembangunan Pasar Cinde. Untuk itu saya mohon maaf kepada masyarakat Palembang,” ujar Harnojoyo sebelum naik ke mobil tahanan.
Banyaknya pertanyaan oleh para wartawan, Harnojoyo dengan wajah lelah pun hanya tersenyum.
Sebelumnya, penyidik Kejati telah lebih dulu menetapkan Empat tersangka.
Mereka, mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, ketua panitia pengadaan yang juga mantan Asisten 2 Pemprov Sumsel Edi Hermanto, Direktur PT Magna Beatum Aldrin Tando serta Kepala Cabang PT Magna Beatum Raiman Yousnaidi.
Sama seperti Empat tersangka sebelumnya, Harnojoyo juga dititipkan di Rutan Pakjo Palembang.
“Hari ini (Senin) Kejati Sumsel telah menetapkan tersangka baru yakni mantan Wali Kota Palembang inisial HJ, terkait dugaan tindak pidana korupsi Pasar Cinde. Penetapan tersangka dilakukan setelah ditemukan cukup alat bukti,” kata Kasi Penkum Kejati Sumsel Vanny Yulia Eka Sari.
Ia mengatakan, penahanan terhadap Harnojoyo akan dilakukan selama 20 hari ke depan, terhitung kemarin.
Ditambahkan Vanny, dalam kasus tersebut penyidik Kejati Sumsel sudah melakukan pemeriksaan terhadap 74 orang saksi.
“Tidak menutup kemungkinan akan ditetapkan tersangka lain dalam kasus ini,” tuturnya.
Sebelumnya, saat mengumumkan 4 tersangka kasus dugaan korupsi revitalisasi pembangunan Pasar Cinde, Kejati juga membeberkan upaya Obstruction of Justice (penghalangan penyidikan) dalam skandal pasar legendaris Kota Palembang ini.
Aspidsus Kejati Sumsel Umaryadi SH MH, mengungkapkan dalam proses penyidikan kasus ini pihaknya menemukan fakta dari bukti elektronik melalui chatting di handphone (HP).
Dalam percakapan itu, menyatakan ada salah satu tersangka yang bersedia pasang badan dengan kompensasi sejumlah uang senilai kurang lebih Rp 17 Miliar.
“Nanti juga dicarikan pemeran pengganti sehingga tersangka aslinya akan bebas,” beber dia.
Selanjutnya, pemeran pengganti tersebut yang rencananya akan menjalani hukuman.
“Nah ini tidak menutup kemungkinan para tersangka dikenakan pasal penghalangan penyidikan atau Obstruction of Justice,” tegas Umaryadi.
Kasus ini, terkait dugaan korupsi kegiatan atau pekerjaan kerjasama mitra bangun guna serah antara Pemprov Sumsel dengan PT Magna Beatum, tentang pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah di Jalan Jenderal Sudirman kawasan Pasar Cinde Palembang Tahun 2016-2018.
Umaryadi menegaskan, hingga kini tim penyidik Pidsus Kejati Sumsel akan terus mendalami alat bukti terkait keterlibatan pihak lain, yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya.
Modus perkara ini, kata Umaryadi, dalam pelaksanaan proses pengadaan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dan mitra Bangun Guna Serah (BGS) tidak memenuhi kualifikasi panitia pengadaan.
Kemudian dilakukan penandatanganan kontrak ,yang mana kontrak tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akibat kontrak tersebut mengakibatkan hilangnya bangunan Cagar Budaya Pasar Cinde.
“Selain itu terdapat Juga aliran dana dari mitra kerja sama ke pejabat terkait pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),” jelasnya.
Terkait kerugian negara, untuk angka pastinya hingga kini Kejati Sumsel tengah berkoordinasi dengan BPKP, dan masih dalam proses perhitungan.
“Tapi secara umum itu nilainya kurang lebih Rp 900 Miliar lebih. Meliputi beberapa komponen seperti perhitungan dari ahli cagar budaya menyebut kerugian akibat rusaknya aset cagar budaya sebesar Rp 800 Miliar lebih,” katanya.
Kemudian dari hasil penarikan uang dari pembeli kios sebesar Rp 43,9 Miliar. Komponen lainnya terkait BPHTB sebesar Rp 1,2 Miliar, serta potensi pendapat daerah baik dari retribusi parkir kebersihan dan lainnya. “Namun hasil akhirnya kita masih tunggu perhitungan dari BPKP,” imbau Umaryadi.
Adapun perbuatan tersangka melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Atau Kedua, Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebelumnya, kuasa hukum tersangka Raimar Yousnadli, Kemas Jauhari mengatakan bila kliennya ini hanya kepala cabang.
Tidak memiliki posisi strategis atau kewenangan utama dalam pengambilan keputusan terkait proyek yang menelan anggaran besar tersebut.
“Justru tanggung jawab atas proyek berada pada jajaran pimpinan tertinggi perusahaan, yakni komisaris dan direktur,” katanya.
Namun Direktur Utama PT Magna Beatum Altar Tarigan saat ini telah meninggal dunia.
“Jadi, penetapan tersangka terhadap klien kami sangat tidak tepat. Beliau bukan pemegang keputusan, bukan mengelola investasi. Tidak terkait langsung dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek,” jelasnya.
Menurutnya, permasalahan mangkraknya proyek revitalisasi Pasar Cinde ini tidak sepenuhnya berada di tangan PT Magna Beatum. Sebab, terjadi pembatalan kontrak kerjasama oleh pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan setelah adanya pergantian Gubernur.
Jauhari juga membantah adanya unsur korupsi dalam keterlibatan kliennya. Sebab menurutnya proyek tersebut tidak menggunakan dana dari APBD, melainkan dana pribadi dari investor.
“Investasi yang ditanamkan bukan berasal dari APBD. Jadi di mana letak kerugian negaranya?,” ujar bertanya-tanya.
Lebih lanjut, dia menyebut seluruh proses kerjasama antara PT Magna Beatum dan pemerintah kota Palembang kala itu juga berjalan sesuai prosedur.
Termasuk soal skema Build Operate and Transfer (BOT), perizinan bangunan, serta izin dari cagar budaya.
Dengan berbagai alasan tersebut, pihak Raimar Yousnaldi menilai penetapan tersangka adalah bentuk kriminalisasi terhadap pihak yang tidak memiliki peran utama dalam proyek.
“Ini bentuk kedzaliman dan kriminalisasi. Kami tidak akan diam, hukum akan kami tempuh untuk mencari keadilan,” tegas Jauhari. (*)