Berpotensi Tidak Proporsional Secara Hukum
Pangkalan Balai – Langkah Polres Banyuasin yang menjerat tersangka penembakan sopir angkot dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dinilai terlalu tergesa-gesa dan tidak sejalan dengan fakta hukum yang terungkap dilapangan.
Sejumlah Ahli Hukum menilai, konstruksi pasal yang digunakan penyidik terkesan memaksakan tanpa mempertimbangkan situasi faktual dan psikologis pelaku saat kejadian.
Dalam konferensi pers Kapolres Banyuasin pada 22 Oktober 2025 lalu, tersangka Hadi Siswanto mengaku melakukan penembakan karena merasa terdesak setelah dikeroyok dan melihat korban membawa obeng.
Namun, meski pengakuan itu menunjukkan adanya unsur pembelaan diri, penyidik tetap menetapkannya dengan pasal paling berat dalam KUHP yakni pembunuhan berencana.
Ketua DPD Ferari Sumsel, Suwito Winoto menyebut bahwa penetapan pasal tersebut berpotensi tidak proporsional secara hukum. “Dari kronologi yang terungkap, tidak ada indikasi pra-meditasi. Semua terjadi secara spontan, dibawah fisik dan psikologis. Unsur rencana lebih dahulu sebagaimana dimaksud Pasal 340 KUHP menjadi sangat lemah,” ujar Suwito, Sabtu (25/10/25).
Ia menjelaskan bahwa konflik bermula dari cekcok di antrean BBM antara Hadi dan Dwi Yulianto di SPBU Limau, yang sempat dilerai warga. Ketegangan berlanjut di KM 40 Desa Tanjung Agung hingga berujung pada pengeroyokan terhadap Hadi oleh tiga orang, termasuk korban Oberta Parziman yang ikut membawa obeng.
“Hadi berada dalam posisi terjepit, dilokasi yang sepi. Ia bertindak spontan mengambil senjata untuk mempertahankan diri. Itu reaksi instingtif bukan rencana pembunuhan,” tegas Suwito.
Kalangan hukum menilai Polres Banyuasin terlalu cepat menyimpulkan adanya unsur perencanaan tanpa memperdalam aspek psikologos dan situasional dari peristiwa tersebut.
Penetapan Pasal 340 KUHP berpotensi mencedarai prinsip due process of law dan asas proporsionalitas dalam hukum pidana.
Dalam kasus dengan dinamika seperti ini, kata Suwito, penyidik seharusnya mendalami dulu aspek pembelaan diri serta keadaan terpaksa sebelum menentukan pasal yang digunakan.
“penyidik semestinya mengedepankan objektivitas dan kehatihatian, bukan langsung menjerat pasal maksimal. Langkah itu berpotensi mengabaikan keadilan substantif,” ujarnya.
Menilai penerapan Pasal 340 KUHP tidak tepat, Suwito juga menyarankan agar pembelaan diarahkan pada Pasal 338 KUHP (pembunuhan tanpa rencana) disertai permohonan pemeriksaan psikologi forensik untuk mengukur kondisi mental tersangka saat peristiwa terjadi.
“Unsur emosi spontan dan tekanan psikologis akibat pengeroyokan harus menjadi bahan pertimbangan utama. Pemeriksaan psikologis akan menguatkan bahwa tindakan tersebut bukan hasil niat jahat yang direncanakan,” jelasnya.
Ia juga mendorong Polres Banyuasin agar membuka ruang bagi penyelesaian berbasis keadilan restoratif, seperti mediasi dan ganti rugi kepada keluarga korban. “Upaya perdamaian yang bermartabat seharusnya menjadi prioritas bukan kriminalisasi berlebihan,” tambahnya.
Kritik publik terhadap Polres Banyuasin makin menguat setelah muncul indikasi bahwa penyidik belum sepenuhnya mengungkap kronologi secara transparan, termasuk asal-usul senjata api yang digunakan dan alasan penetapan pasal berat tanpa dasar kuat.
Langkah penyidik yang cenderung represif ini dinilai bertolak belakang dengan semangat reformasi penegakan hukum yang mengedepankan keadilan substantif bukan sekedar kepastian hukum formal.
Dirinya menegaskan, jika aparat hukum salah menafsirkan fakta lapangan, bukan hanya merugikan tersangka, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. “Penegakan hukum yang terburu-buru hanya akan melahirkan ketidakadilan baru,” pungkas Suwito.






