OPINI – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya merupakan terobosan strategis Presiden Republik Indonesia untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapat asupan gizi yang layak.
Program ini tidak hanya bicara soal makanan tapi juga tentang masa depan generasi bangsa. Bahkan digadang mampu menggerakan roda ekonomi lokal hingga pelaku UMKM di sektor pangan.
Bagaimana jadinya jika program mulia ini dikelola oleh pihak-pihak yang hanya mementingkan keuntungan semata, tanpa menghiraukan kualitas dan keamanan anak-anak sekolah ?.
Ketika Gizi Dikalahkan Oleh Kepentingan Bisnis
Serangkaian kasus keracunan siswa sekolah di berbagai daerah menjadi alarm keras bahwa ada yang tidak beres di balik dapur MBG.
Bahkan terjadi, menu yang disajikan mungkin jauh dari kata standar gizi seimbang yang ditetapkan Badan Gizi Nasional (BGN).
Temuan dilapangan menunjukkan, menu yang diberikan kerap dijumpai tidak layak konsumsi. Seperti sayuran yang sudah tidak layak konsumsi, ayam dengan tekstur keras hingga ikan yang masih terasa amis.
Dengan menyajikan makanan mie instan seperti mie kemasan dan burger cepat saji. Dua jenis makanan yang sejatinya tidak masuk kategori bergizi untuk anak usia sekolah.
Kritik keras datang dari dr Tan Shot Yen, seorang dokter ahli gizi dan pemerhati pangan anak. Dalam salah satu pernyataannya, ia menilai bahwa penggunaan bahwa pangan instan dalam program MBG adalah bentuk kekeliruan fatal.
“Kalau yang disebut makan bergizi tapi isinya mie instan dan burger, itu bukan gizi. Itu jebakan karbohidrat dan lemak trans. Anak-anak tidak butuh kenyang, mereka butuh zat gizi yang membangun otak dan daya tahan tubuh,” ujar dr. Tan Shot Yen saat beraudiensi dengan Komisi IX DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Gedung Nusantara Senayan, Jakarta 22 September 2025.
Pernyataan tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi serius bagi pelaksana program di daerah. Sebab, MBG bukan sekedar proyek kuliner massal, tetapi investasi jangka panjang untuk kecerdasan dan kesehatan anak bangsa.
Dapur Anti Kritik, Sekolah Enggan Lapor
Terbukti di Kabupaten Banyuasin. Ketika media mencoba menelusuri kelayakan dan sanitasi dapur, sebagian pengelola jelas menolak memberikan keterangan.
Bahkan pihak sekolah pun enggan berkomentar walaupun makanannya terasa hambar, bukan karena tidak tahu tetapi karena takut.
Takut dianggap tidak bersyukur, takut di cap pembangkang terhadap program pemerintah.
Ketika para orang tua siswa menyampaikan protes atas kualitas makanan yang basi dan tidak layak konsumsi, pihak dapur justru tidak terima dan menganggap kritik itu sebagian serangan.
Padahal, kritik bukanlah bentuk penolakan, melainkan tanggungjawab moral agar program publik tetap berada di rel yang benar.
Kesehatan dan Nyawa Anak yang Jadi Taruhan
Faktanya Korwil BGN hanya formalitas, sejumlah dapur MBG di Banyuasin belum memiliki Sertifikat Laik Higienis Sanitasi (SLHS).
Kedapatan lalat berterbangan di area pengolahan bahkan makanan dibiarkan terbuka. Semua itu adalah indikasi kelalaian yang berujung fatal.
Tak hanya itu, terkadang banyak menu MBG yang tidak habis dimakan siswa karena rasa dan tampilannya yang kurang layak hingga akhirnya terbuang sia-sia.
Program yang seharusnya menyehatkan justru berpotensi menimbulkan pemborosan dan kemubaziran.
Keamanan pangan bukan sekedar prosedur teknis, Ia adalah jaminan kesehatan. Ketika dapur MBG abai terhadap prinsip ini, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kualitas program tapi masa depan penerus bangsa.
Antara Syukur dan Amanah
Sebagian masyarakat memang menilai kritik terhadap MBG sebagai bentuk ketidaksyukuran. Namun, bukankah bersyukur itu juga berarti memastikan bantuan pemerintah dijalankan secara amanah dan prfesional?
Kita bisa saja berterimakasih atas niat baik pemerintah, tapi pada saat yang sama tetap menuntut akuntabilitas dari para pelaksana di lapangan.
Program MBG seharusnya menjadi simbol kepedulian negara terhadap generasi muda, bukan sekedar proyek rutin yang diserahkan pada pihak yang mengejar tender tanpa nurani.
Karena dibalik paket makan yang dibagikan, ada tanggungjawab moral, etika publik dan masa depan bangsa yang sedang kita suapi. Apakah dengan gizi atau hanya lahan bisnis ?.