POLITIK HIJAU

Oleh: Mahendra Kusuma, SH, MH. (Dosen FH Universitas Tamansiswa Palembang)

Oleh: Mahendra Kusuma, SH, MH. (Dosen FH Universitas Tamansiswa Palembang)

Saat ini telah terjadi pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim. Perubahan iklim telah menimbulkan berbagai dampak, antara lain bencana hidrometeorologi, krisis pangan, dan mewabahnya penyakit infeksi baru. Berbagai dampak ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Menjelang perhelatan pemilu serentak tahun 2024,  isu lingkungan seharusnya menjadi isu utama selain ekonomi.  Ini mengingat lingkungan lingkungan sangat terkait dengan kehidupan warga dan bukan isu pelengkap.

Memanfaatkan  isu lingkungan untuk memenangkan kontestasi dalam pemilu telah banyak dilakukan oleh partai politik di dunia.  Dalam dunia politik, perhatian terhadap lingkungan disebut dengan istilah politik hijau. Politik hijau dapat diartikan sebagai ideologi politik yang memperjuangkan masyarakat ekologis dan berkelanjutan.

Memperjuangkan politik hijau dapat dilakukan dengan menanamkan dan menumbuhkan kesadaran di masyarakat terkait pentingnya isu lingkungan. Ke depan, isu lingkungan akan semakin strategis karena tak hanya relevan di tingkat regional, tetapi juga global.

Di Australia, kemenangan Pemimpin Partai Buruh Buruh, Anthony Albanese tidak terlepas dari komitmennya dalam mendukung mitigasi perubahan iklim. Australia mengalami gelombang panas yang mengakibatkan kebakaran hutan hebat dan mengalami kemarau ekstrem. Para petani gagal panen dan banyak ternak mati. Dewan Iklim Australia melaporkan, pada kurun 2018-2021, ada 500 orang meninggal akibat dampak cuaca ekstrem. Di tengah situasi ini, pemerintahan Scott Morrison dari Partai Liberal, tidak mau menghentikan produksi dan ekspor batubara.  Target  pengurangan emisi juga alakadarnya, yaitu 26-28 persen pada tahun 2030 (Kompas, 23/5/2022).

Faktor inilah yang membuat Morrison dan koalisi Partai Liberal-Partai Nasional kehilangan kepopuleran. Sebagaimana diketahui,  isu lingkungan adalah rapor merah Australia di mata dunia.

Dalam pidato kemenangan Albanese menyatakan bahwa Australia akan mengakhiri “perang Iklim”, serta menjadi kekuatan besar dalam penggunaan energi terbarukan. Kita bisa memperbaikinya dengan komitmen menurunkan emisi 43 persen pada tahun 2030 dan memastikan kendaraan listrik menjadi sarana angkutan yang mudah diakses masyarakat, kata Albanese.

Di negara kita, pada Pilpres 2019, isu lingkungan belum menjadi perhatian kedua pasangan.  Dalam catatan Firdaus Cahyadi, kedua capres tak banyak mengangkat isu lingkungan dalam kampanye mereka. Sejak awal kampanye hingga akhir Januari 2019 pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin hanya mengangkat isu lingkungan 15 kali, dibanding dengan isu ekonomi yang mencapai 233 kali. Hal yang sama terjadi pada pasangan Prabowo-Sandi yang hanya 11 kali mengangkat isu lingkungan dalam kampanye  mereka, sementara isu ekonomi 340 kali (Hariadi Kartodihardjo, 2021).

Demikian juga dalam pilkada, para calon kepala daerah hampir tidak pernah mengangkat isu lingkungan, sehingga ketika terpilih banyak kebijakan yang dibuatnya menyebabkan kerusakan lingkungan.

Tahun 2024 nanti merupakan tahun politik. Kita akan memilih Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan para anggota DPR/DPRD/DPD secara serentak. Menjelang tahun politik tersebut sudah seharusnya isu lingkungan menjadi perhatian partai politik dan para kandidat yang akan bertarung dalam rezim pemilu tersebut.

Banyak partai politik yang mulai tertarik mengusung isu lingkungan dalam upaya memenangkan pemilu. Partai Nasdem bertempat di Pulau Kelapa dan pulau Kotok di kawasan Kepulauan Seribu, menggelar bakti sosial  antara lain memungut sampah, melepas tukik (bayi penyu), dan burung elang ke alam bebas serta menanam terumbu  karang. Acara ini dihadiri oleh Surya Paloh (2/11/2021). PDI-P juga melakukan aksi serupa Awal tahun 2022 saat memperingati HUT ke-49 PDI-P, sejumlah petinggi PDI-P, diantaranya Sekjen DPP PDI-P Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PDI-P yang juga Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Ketua DPP PDI-P Yasonna Laoly yang juga Menteri Hukum dan HAM serta Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat turun gunung di wilayah DKI Jakarta. Mereka menanam pohon dan tidak segan ikut menyapu areal taman.

Kita berharap, jangan sampai aksi-aksi peduli lingkungan yang dilakukan oleh sejumlah partai politik hanya sekadar rutinitas dan retorika belaka. Seharusnya partai melalui kadernya yang menjabat di pemerintahan dan di lembaga legislatif baik di pusat maupun daerah harus mengimplementasikan konsep politik hijau ke dalam kebijakan-kebijakan.

Diperlukan kebijakan nyata. Para elite politik harus menyadari bahwa kerusakan lingkungana, kerusakan hutan di Indonesia, bukan diawali  oleh cangkul, melainkan diawali oleh pena.  Terkait penerapan kebijakan, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pernah mengamati bahwa ada kaitan erat antara kehancuran lingkungan dengan penyelenggaraan pilkada tahun 2017-2018, sebagai dampak dari banyaknya izin pengelolaan tambang yang dikeluarkan pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan itu sendiri, bukan hanya penerapannya, masih jauh dari cakrawala peduli lingkungan hidup (Al Andang L. Binawan, 2022).

Pemahaman bahwa SDA hanya berdimensi tunggal (ekonomi) yang sangat tipikal Orba yang masih mencengkeram benak para politisi dan pengambil kebijakan daerah akan berisiko pada peningkatan eksploitasi SDA tanpa kendali bagi alasan-alasan yang sepenuhnya menyangkut “perut”. Hasrat untuk memacu PAD dan mengembalikan ongkos pilkada secara cepat, bisa dengan mudah berakibat pada proses pemusnahan secara segera potensi dan sumber SDA yang dimiliki suatu daerah.

Di era otonomi daerah, beberapa kabupaten begitu mudah memberikan konsesi untuk membuka lahan kepada investor pertambangan dan  perkebunan. Hal ini bisa dipahami mengingat beberapa kepala daerah membutuhkan uang untuk mengembalikan modalnya saat pilkada.

Dalam masalah sumber daya alam, tidak dapat dipungkiri ada perkawinan antara politik dan bisnis. Sudah menjadi rahasia umum, dalam eksploitasi sumber daya alam diwarnai ijon politik atau perdagangan kesepakatan di mana pihak yang memberikan pembiayaan akan menerima kemudahan dalam urusan bisnis, jaminan konsesi,  sampai dipermudahnya regulasi, praktik ini dikenal juga dengan political capture (Fariz dkk, 2014).

Menunjuk pada laporan Koalisi Bersih Indonesia (2018), bahwasannya dalam urusan pertambangan di Indonesia terutama sektor batubara tidak bisa dilepas dalam praktik ijon politik. Berdasarkan penelusuran mereka di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa penguasaan atas sumber daya alam sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan elit-elit politik nasional dalam pertambangan batubara di provinsi tersebut.

Kita berharap pada pemilu serentak tahun 2024 nanti akan menghasilkan pemimpin yang sungguh peduli terhadap lingkungan. Masyarakat harus diberi pendidikan politik agar bisa memilih para wakil rakyat, kepala daerah, atau bahkan presiden yang sungguh punya kepedulian pada lingkungan hidup. Kita perlu belajar dari pemilu di Australia yang memenangkan kubu pro lingkungan. Semoga***